Selasa, 13 Agustus 2024

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF


Yulianus Lase, S.Pd

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatihan daring, lokakarya, konferensi, dan Pendampingan selama 6 bulan bagi calon Guru Penggerak. Selama program, guru tetap menjalankan tugas mengajarnya sebagai guru.

Selain pendidikan Guru Penggerak Reguler yang dilaksakan secara full selama 6 bulan yang menyasar guru-guru yang sudah lulus pada 3 (tiga) tahapan seleksi dengan menyandang sebutan sebagai Calon Guru Penggerak (CGP) juga ada pendidikan Guru Penggerak Rekognisi yang disediakan bagi para Pengajar Praktik dan Fasilitator yang belum pernah menjadi Calon Guru Penggerak Reguler.

Syarat utama untuk menjadi CGP Rekognisi adalah pernah menjadi Pengajar Praktik pada satu angkatan dan juga harus berstatus sebagai Fasilitator dan mendampingi CGP Reguler secara bersamaan, CGP Rekognisi juga harus melewati seleksi sebanyak 2 (dua) kali.

Berikut ini merupakan salah satu tugas yang wajib dilaksakan oleh CGP Rekognisi yaitu pada Alur Koneksi Antar Materi pada Modul 1.4.

KONEKSI ANTAR MATERI KESIMPULAN DAN REFLEKSI

MODUL 1.4

Nama CGP Rekognisi :    Yulianus Lase, S.Pd                                    Fasilitator Pemandu   :  Samsuedi

Angkatan                     :    11 (Sebelas)                                                Tahun                         :    2024

Unit Kerja                    :    UPTD SDN 070974 Gunungsitoli


SALAM DAN BAHAGIA !

Setelah saya mempelajari Modul 1.4. Budaya Positif, saya melakukan refleksi untuk diri sendiri yang dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan berikut ini.

A.  Buatlah sebuah kesimpulan mengenai peran Anda dalam menciptakan budaya positif di sekolah dengan menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan  sekolah/kelas, segitiga restitusi dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya yaitu Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak,  serta Visi Guru Penggerak.

Untuk menciptakan budaya positif dilingkungan sekolah saya sebagai seorang guru mempunyai peran yang sangat besar. Sebagai seorang guru, saya berperan untuk menginisiasi penyusunan keyakinan kelas di kelas yang menjadi tanggungjawab sendiri. Selain itu saya juga berperan untuk menyebarkan pemahaman kepada rekan kerja ditempat saya bekerja. Penerapan budaya positif tidak bisa maksimal apa bila seorang diri untuk melaksanakannya. Beberapa waktu lalu, saya telah melaksanakan kegiatan sosialisasi tentang budaya positif di sekolah. Materi ini disambut baik oleh rekan-rekan di tempat saya bekerja. Saya menjelaskan tentang disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan  sekolah/kelas, segitiga restitusi.

Seluruh materi budaya positif ini sangat erat kaitannya dengan Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak,  serta Visi Guru Penggerak. Dalam filosofi pendidikan menurut KHD, Pendidikan itu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat, agar tuntunan ini bisa berhasil maka budaya positif wajib diterapkan dilingkungan sekolah. Nilai dan Peran Guru Penggeraklah yang mampu mengakomodir hal tersebut dengan merencanakannya melalu Visi Guru Penggerak yang dijadikan sebagai pandangan utama, sehingga apapun program yang ingin dilaksanakan tidak terlepas dari ketiga hal tersebut yang akhirnya budaya positif dapat terbudayakan diekosistem suatu sekolah.

A.  Buatlah sebuah refleksi dari pemahaman Anda atas keseluruhan materi Modul Budaya Positif ini dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1.   Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori kontrol,  teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar dugaan?

Saya sangat memahami konsep-konsep inti dari materi disiplin positif, teori kontrol,  teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi.

Budaya positif adalah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan serta kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab.

Teori kontrol menurut Dr. William Glasser dalam Control Theory terdiri dari:

a.   Guru mengontrol murid : Sebetulnya kita tidak bisa mengontrol murid jika ia tidak mau, harus ada dorongan sendiri dari diri murid.

b.    Penguatan positif efektif dan bermanfaat : Semisal bujukan dan nasihat-nasihat, jika terlalu dalam murid bisa ketergantungan dan tidak mandiri dalam mengontrol dirinya.

c.    Kritikan dapat membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter : Kalaupun kita harus mengeluarkan kritikan maka kritiklah secukupnya dan kritikan tersebut harus membangun bukan malah membuat murid tidak percaya diri.

d.  Orang dewasa memiliki hak untuk memaksa : Menentukan pilihan adalah hak masing-masing manusia. 

Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori Kontrol?

Stimulus Respon

Teori Kontrol

Realitas (kebutuhan) kita sama

Realitas (kebutuhan) kita berbeda

Setiap orang melihat sama

Setiap orang memiliki gambaran berbeda

Kita mencoba mengubah orang agar berpandangan sama dengan kita

Kita berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia

Perilaku buruk dilihat sebagai suatu kesalahan

Semua perilaku memiliki tujuan

Orang lain bisa mengontrol saya

Hanya anda yang bisa mengontrol diri anda

Saya bisa mengontrol orang lain

Anda tidak bisa mengontrol orang lain

Pemaksaan ada pada saat bujukan gagal

Kolaborasi dan konsensus menciptakan pilihan-pilhan baru

Model berpikir menang/kalah

Model berpikir menang-menang

Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi

Ada 3 motivasi perilaku manusia:

1.     Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya?

2.     Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.

Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya?

3.   Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. 

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif.

Dihukum oleh Penghargaan

Saat kita berulang kali menjanjikan hadiah kepada anak-anak agar berperilaku bertanggung jawab, atau kepada seorang murid agar mempelajari sesuatu yang baru, atau kepada seorang karyawan agar melakukan pekerjaan yang berkualitas, kita sedang berasumsi mereka tidak dapat melakukannya,  atau mereka tidak akan memilih untuk melakukannya.” (Alfie Kohn)

5 (lima) Posisi Kontrol Guru

1.     Penghukum

Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:

“Patuhi aturan saya, atau awas!”

“Kamu selalu saja salah!”

“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.

Pada posisi ini kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.

2.     Pembuat Merasa Bersalah

Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:

“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”

Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.

Pada posisi ini murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.

3.     Teman

Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:

“Ayo bantulah, demi bapak ya?”

“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”

“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.

Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.

Pada posisi ini murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.

4.     Pemantau

Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:

“Peraturannya apa?”

“Apa yang telah kamu lakukan?”

“Sanksi atau konsekuensinya apa?”

Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.

Pada posisi ini murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa berbuat salah.  Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.

5.     Manager

Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri.  Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

“Apakah kamu meyakininya?”

“Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”

“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.

Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.

5 (lima) kebutuhan dasar manusia

1.     Kesenangan

2.     Cinta dan Kasih sayang

3.     Kebebasan

4.     Penguasaan

5.     Bertahan hidup

Keyakinan Kelas

Keyakinan adalah nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama

Segitiga Restitusi

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat

Ada 3 tahapan dalam melakukan restitusi, yaitu;

1.     Menstabilkan Identitas

2.     Validasi Tindakan yang Salah

3.     Menanyakan Keyakinan

Segitiga restitusi sebagai upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam membangun budaya positif di sekolah. Tentunya, untuk mewujudkan hal ini membutuhkan proses yang yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Selain itu, proses ini juga membutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan di sekolah.


2.     Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?

Perubahan yang terjadi pada cara berpikir saya dalam mencipatkan budaya positif di kelas ataupun disekolah setelah saya mempelajari modul ini yaitu:

Hukuman tidak dapat mendisplinkan anak secara total, bahkan lebih banyak sisi negatif dibanding sisi positifnya. Penghargaan tidak selalu baik pada murid terutama yang berkaitan dengan pemberian penghargaan dalam bentuk barang, alangkah lebih baiknya bila motivasi yang muncul berasal dari dalam diri murid sendiri. Keyakinan kelas lebih baik dari pada peraturan kelas, sebab keyakinan kelas disepakati sendiri oleh murid, sedangkan peraturan kelas dibuat sendiri oleh guru. Setelah saya mengetahui hal ini, maka saya berencana untuk mengobah paradigm berpikir saya dalam mengelola kelas/sekolah agar sesuai dengan kondisi yang diharapkan dalam modul ini.

3.   Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?

Adapun pengalaman yang pernah saya alami terkait penerapan konsep-konsep intik dalam modul Budaya Positif dilingkungan sekolah antara lain;

Dalam menyelesaikan masalah ketika murid berbuat salah, kalau dulu cara mengatasinya selalu berasaskan pada hukuman, saat ini sudah tidak seperti itu lagi. Dalam menyelesaikan masalah selalu berasaskan Segitiga Restitusi dan pengulangan Keyakinan kelas. Dalam minggu yang sudah lewat terjadilah masalah antara 2 orang siswa saat mereka melaksanakan kegiatan Literasi pada pagi hari di sekolah. 2 orang murid ini terlibat dalam perkelahian karena memperebutkan buku bacaan. Sayapun menyelesaikan persoalan itu dengan menerapkan Segitiga Restitusi

4.     Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?

Saya sangat senang dan gembira, sebab dalam menyelesaikan masalah tersebut tidak ada kekerasan fisik dan verbal. Murid juga menerima dengan baik penyelesaian tersebut.

5.  Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?

Hal yang baik saat menerapkan konsep-konsep budaya positif di kelas yaitu murid menyadari bahwa bila melakukan sesuatu hal pasti ada konsekuensi, dan konsekuensi itu merupakan kesepakatan yang sudah mereka buat secara bersama-sama sehingga tanpa diperintah apapun konsekuensi dari tindakan yang mereka buat akan mereka laksanakan dengan ikhlas.

Yang perlu diperbaiki pada penerapan konsep dimaksud menurut saya kecakapan seorang guru dalam memahami konsep Segitiga Restitusi dalam menyelesaikan masalah. Kadang penerapan Segitiga Restitusi tidak berjalan dengan baik karena guru kurang menguasai cara melakukannya, jadi hal tersebut wajib diperbaiki.

6.  Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini,  posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?

Sebelum mempelajari modul ini ketika berinteraksi dengan murid saya selalu posisi sebagai Pembuat Merasa Bersalah.Posisi ini memang tidak menyakiti siswa secara fisik tetapi menyakiti mereka dengan pemikiran mereka merasa sangat bersalah dan ini membuat tekanan batin terhadap siswa. Saat itupun saya merasa kasihan juga melihat kondisi murid seperti itu. Tetapi setelah mempelajari modul ini, posisi yang saya pakai untuk mengontrol murid adalah Posisi sebagai manager. Pada posisi ini guru mengajak murid untuk bertanggung jawab atas perbuatannnya dan menemukan sendiri solusi yang dia ingin lakukan dengan mengacu pada keyakinan kelas yang sudah ada. Perasaan saya setelah menerapkan posisi sebagai manager, saya menjadi puas dan lega sebab pada penyelesaian suatu masalah tidak berbasis menyakiti tetapi bahkan mengajari dan memperbaiki.

7.   Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?

Sebelum mempelajari modul ini saya sering menerapkan Segitiga Restitusi saat menyelesaikan masalah pada murid. Tahap yang sering saya praktikkan yaitu Validasi Tindakan Yang Salah. Saya mengajak siswa untuk memahami bahwa tindakan yang dilakukannya membuat dia bermasalah dan tidak sesuai aturan, dan saya mengontrol murid dengan menggunakan posisi Kontrol sebagai Pembuat Merasa Bersalah.

8.  Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?

Saya kira konsep-konsep yang sudah disampaikan di dalam modul ini sudah sangat baik dan relevan untuk saat ini, menurut saya yang perlu ditambahkan adalah kesabaran guru dalam menerapkannya dan kemampuan untuk memahami agar konsep budaya positif bisa berjalan sesuai rencana.


0 komentar:

Posting Komentar